Laman

Kamis, 26 Mei 2011

Keadilan

Islam Mengutamakan Keadilan, Bukan Kesamaan Dalam Segala Hal
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (An-Nisa`: 34)

Penjelasan Mufradat Ayat
Qawwamun adalah jamak dari qawwam, yang semakna dengan kata qayyim. Artinya adalah pemimpin, pembesar, sebagai hakim dan pendidik, yang bertanggung jawab atas pengaturan sesuatu. Namun kata qawwam memiliki arti yang lebih dari qayyim. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Baghawi)
Ibnu ‘Abbas c dalam menjelaskan ayat ini mengatakan: “Qawwam artinya pemimpin, di mana wajib atas seorang istri taat kepadanya sebagaimana yang Allah l perintahkan baginya untuk taat kepada suami, serta menaatinya dengan berbuat baik kepada keluarganya dan menjaga hartanya.” (Tafsir Ath-Thabari)
“Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”, meliputi seluruh jenis nafkah yang Allah l wajibkan atas kaum laki-laki untuk kaum perempuan di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Baik berupa mahar pernikahan, berbagai macam nafkah dalam keluarga, dan beban-beban lainnya.
Maknanya adalah wanita-wanita yang taat kepada suaminya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c dan yang lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir)
“Memelihara diri ketika suaminya tidak ada”, yaitu para wanita yang senantiasa memelihara suaminya, dengan cara memelihara kehormatan dirinya dan menjaga harta suaminya.
Yang terpelihara adalah yang dijaga oleh Allah l.

Penjelasan Ayat
Al-Allamah As-Sa’di t berkata:
“(Allah) l mengabarkan bahwa kaum lelaki itu pemimpin atas kaum wanita, yaitu menjadi penegak atas mereka dalam memerintahkan mereka untuk melaksanakan hak-hak Allah l, agar memelihara kewajiban-kewajiban dan mencegah mereka dari berbagai kerusakan. Maka kaum lelaki wajib memerintahkan hal tersebut kepada kaum wanita dan menjadi penegak atas mereka. Juga dalam hal memberi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal kepada mereka.
Kemudian Allah l menyebutkan sebab yang mengharuskan kaum lelaki mengurusi para wanita. Dia berfirman “dengan apa yang telah Allah utamakan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan dengan apa yang mereka beri nafkah dari harta-harta mereka”, yaitu dengan sebab keutamaan kaum lelaki atas kaum wanita serta diberikannya kelebihan atas mereka.
Diutamakannya kaum lelaki di atas kaum wanita dari berbagai sisi: dari sisi memegang kepemimpinan dalam negara hanya dikhususkan bagi kaum lelaki; kenabian, kerasulan; dikhususkannya mereka dalam sekian banyak dari perkara ibadah seperti berjihad, melaksanakan (shalat) hari raya, dan Jum’at. Juga dari sisi yang Allah l khususkan kepada mereka berupa akal, ketenangan, kesabaran, kekuatan yang mana para wanita tidak memiliki yang semisal itu. Demikian pula mereka dikhususkan dalam memberi nafkah kepada istri-istri mereka. Bahkan kebanyakan pemberian nafkah tersebut khusus menjadi tanggung jawab kaum laki-laki. Inilah yang membedakan mereka dari kaum wanita. Dan mungkin ini rahasia dari firman-Nya “dengan apa yang mereka memberi nafkah ...” dan obyeknya tidak disebutkan, untuk menunjukkan keumuman nafkah.
Dari semua ini, diketahuilah bahwa seorang laki-laki berkedudukan seperti pemimpin, tuan di hadapan istrinya. Dan istri di hadapan suami bagaikan tawanan dan pelayannya. Maka tugas seorang lelaki adalah menegakkan tanggung jawab pemeliharaan yang telah Allah l berikan kepadanya. Sedangkan tugas wanita adalah taat kepada Rabb-nya kemudian taat kepada suaminya.
Oleh karena itu, Allah l berfirman: “Wanita-wanita yang shalihah dan yang tunduk”, yaitu taat kepada Allah l, “memelihara diri di saat suaminya tidak ada”, yaitu senantiasa taat kepada suaminya walaupun suami tidak ada di sisinya, memelihara suaminya dengan menjaga diri dan hartanya. Hal itu merupakan bentuk pemeliharaan Allah l terhadap mereka. Dan Allah l-lah yang memberi taufiq kepada mereka (untuk melakukannya), bukan dari jiwa mereka sendiri. Sebab jiwa tersebut selalu memerintahkan kepada keburukan. Namun siapa yang bertawakal kepada Allah l, maka Allah l memberi kecukupan padanya dengan apa yang dia butuhkan dari perkara agama dan dunianya.” (Tafsir Taisir Al-Karim Ar-Rahman)

Islam adalah Agama yang Mengajak kepada Keadilan, bukan Persamaan dalam Segala Hal
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum pria memiliki perbedaan dengan kaum wanita. Juga, bahwa Allah l memberikan kelebihan kepada pria dalam hal kepemimpinan yang tidak dimiliki oleh kaum wanita. Di dalam ayat yang lain, Allah l berfirman:
“Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (Al-Baqarah: 228)
Oleh karena itu, Islam memerintahkan untuk memberikan hak kepada masing-masing yang memiliki hak. Inilah yang disebut keadilan. Adil bukanlah persamaan hak dalam segala hal. Namun adil adalah menempatkan setiap manusia pada tempat yang selayaknya dan semestinya, serta menempatkan segala sesuatu pada posisinya yang telah diatur dalam syariat-Nya.
Allah l memerintahkan kepada keadilan dan bukan kepada persamaan antara sesama manusia dalam segala hal. Firman-Nya:
“Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (An-Nisa`: 58)
Dan firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Ma`idah: 8)
Dan ayat-ayat yang berkenaan tentang masalah ini sangat banyak sekali. Sedangkan persamaan antara sesama manusia bukanlah ajaran Islam. Bahkan Islam senantiasa menyebutkan perbedaan antara satu dengan yang lainnya sesuai standar syariah dan kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh Allah l dan Rasul-Nya.
Allah l membedakan antara yang muslim dan yang kafir, yang taat dan yang berbuat kemaksiatan, dalam firman-Nya:
“Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 20)
Dan firman-Nya:
“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (Shad: 28)
Allah l juga membedakan antara orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu, dalam firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang adanya perbedaan kedudukan manusia dan tidak menyamakan antara mereka. Bahkan Rasulullah n mengingkari Dzulkhuwaishirah yang menginginkan agar pembagian harta rampasan perang dilakukan secara merata serta menganggap bahwa hal tersebut termasuk keadilan.
Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri z,, beliau berkata: “Tatkala Rasulullah n sedang membagi harta berupa emas, maka datanglah Abdullah bin Dzulkhuwaishirah At-Tamimi lalu berkata: ‘Berbuat adil-lah engkau, wahai Rasulullah.’ Maka Rasulullah n menjawab: ‘Celaka engkau, siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?’ Umar lalu berkata: ‘Izinkan saya untuk memenggal lehernya.’ Nabi n menjawab: “Biarkan dia, karena sesungguhnya dia memiliki pengikut, yang salah seorang kalian menganggap rendah shalatnya dibandingkan shalat mereka, puasanya dibandingkan puasa mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6534)
Dalam riwayat Muslim t disebutkan bahwa tatkala ‘Ali bin Abi Thalib z datang dari negeri Yaman membawa emas yang masih bercampur tanah, Rasulullah n membaginya untuk empat orang: ‘Uyainah bin Hisn, Al-Aqra’ bin Habis, Zaid Al-Khail, yang keempat ‘Alqamah bin Ulatsah atau ‘Amir bin Ath-Thufail. Lalu datanglah Dzulkhuwaishirah tersebut.... (HR. Muslim no.1064)
Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah n tidak membagi rata harta yang beliau dapatkan tersebut. Namun Rasulullah n memberikan kepada orang yang beliau pandang lebih mendatangkan kemaslahatan untuk diri orang tersebut. Di dalam hadits yang lain beliau n bersabda: “Wahai Sa’d, sesungguhnya aku memberikan (harta) kepada seseorang, padahal yang lain lebih aku cintai daripada orang yang kuberi tersebut, karena aku khawatir orang tersebut dilemparkan Allah ke dalam neraka.” (HR.Al-Bukhari no. 27, Muslim no. 150)
Demikian pula halnya antara kaum laki-laki dan perempuan. Allah l memerintahkan manusia untuk berbuat adil kepada mereka dengan memberikan hak kepada yang berhak menerimanya, sesuai ketentuan yang telah ditetapkan dalam syariat. Sebab, menyamakan antara pria dan wanita dalam segala sesuatu adalah suatu hal yang bertentangan dengan fitrah dan syariat. Bagaimana tidak, dari sisi penciptaan saja mereka sudah berbeda. Di antaranya:
q Wanita memiliki fisik dan jenis kelamin yang berbeda dengan kaum lelaki
q Wanita lebih lemah dibanding kaum lelaki
q Wanita melahirkan, tidak demikian halnya kaum lelaki
q Wanita mengalami masa haid, kaum lelaki tidak
Dan masih banyak lagi perbedaan di antara keduanya.
Maka dari itulah, Allah l yang Maha mengetahui kemaslahatan hamba-Nya, menempatkan mereka pada posisinya masing-masing. Di antara perbedaan antara keduanya dari sisi syariat adalah:
q Wanita diperintahkan berhijab dengan menutupi seluruh tubuhnya, tidak demikian halnya kaum lelaki.
q Wanita dianjurkan tinggal di rumahnya dan tidak keluar dengan ber-tabarruj (bersolek), tidak demikian halnya kaum lelaki.
q Lelaki menjadi pemimpin rumah tangga dan melindungi para wanita yang lemah.
q Lelaki mendapatkan warisan dua kali lipat dibanding wanita.
Dan perbedaan lainnya yang telah ditetapkan Allah l, Dzat yang lebih mengetahui kemaslahatan para hamba-Nya tersebut.

Lelaki adalah Pemimpin dalam Bernegara dan Berumah tangga
Ayat Allah l yang mulia ini menjelaskan bahwa seorang lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, dan seorang wanita adalah berada di bawah perlindungan dan pemeliharaan lelaki. Oleh karena itu, seorang wanita tidak boleh diberi tanggung jawab sebagai pemimpin yang membawahi kaum lelaki, karena hal tersebut bertentangan dengan keadaan penciptaan wanita itu sendiri yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Hal ini dapat mengantarkan kepada kerusakan dan kehancuran.
Di dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari t dari hadits Abu Bakrah z, dia berkata: Tatkala sampai berita kepada Rasulullah n bahwa penduduk Persia mengangkat seorang anak wanita Kisra1 (gelar raja Persia) sebagai pemimpin yang memimpin mereka, maka beliau bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang mereka menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Al-Maghazi, bab Kitabun Nabi n ila Kisra wa Qaishar, 7/4425 bersama Al-Fath)
Al-Hafizh t setelah menyebutkan hadits ini berkata: “Al-Khaththabi berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa seorang wanita tidak boleh memegang kepemimpinan dan qadha` (menjadi hakim).” (Fathul Bari, 7/735)
Dan tidak ada perselisihan di kalangan para ulama tentang tidak diperbolehkannya kaum wanita menjadi pemimpin negara. (lihat penukilan kesepakatan tersebut dalam Adhwa`ul Bayan, Asy-Syinqithi t, 1/75; Al-Qurthubi t dalam tafsirnya menukil dari Al-Qadhi Abu Bakr Ibnul ‘Arabi t, 13/183, Ahkamul Qur`an, Ibnul ‘Arabi, 3/482)
Demikian pula dalam hal berumah tangga. Seorang suami adalah pemimpin dan penanggung jawab atas rumah tangganya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin ‘Umar c, Rasulullah n bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاس رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلىَ أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالْـمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلىَ مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemelihara, maka dia bertanggung jawab atas apa yang dia pelihara. Seorang penguasa adalah pemelihara atas rakyatnya dan dia bertanggung jawab atas mereka. Seorang lelaki adalah pemelihara atas keluarganya dan dia bertanggung jawab atas mereka. Seorang wanita adalah pemelihara atas rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab atas mereka. Seorang budak adalah pemelihara atas harta tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah pemelihara dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipeliharanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Akan tetapi, tatkala kaum lelaki memiliki kelebihan dari satu sisi, bukan berarti kedudukan wanita di dalam Islam tersebut menjadi rendah. Sebab, yang menjadi standar kemuliaan seseorang di sisi Allah l adalah ketakwaan. Apabila seorang wanita senantiasa taat kepada Allah l, taat kepada suami, memelihara kehormatan diri, menjaga harta suami di saat ia ditinggal, maka dia akan mendapatkan jaminan surga yang tidak didapatkan oleh kebanyakan kaum lelaki yang tidak memiliki ketakwaan kepada Allah l. Rasulullah n bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْـمَرْأَةُ خَـمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَـهَا:  ادْخُلِي الْـجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْـجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, memelihara kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: ‘Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki’.” (HR. Ibnu Hibban dari Abu Hurairah z, dishahihkan Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami' no. 660)
________________________________________
1 Wanita ini bernama Buuraan bintu Syairawaih bin Kisra, disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari menukil dari Ibnu Qutaibah. (Fathul Bari, 7/735)
2 Islam adalah Agama yang Mengajak kepada Keadilan, bukan Persamaan dalam Segala Hal
3 Ayat ini menjelaskan bahwa kaum pria memiliki perbedaan dengan kaum wanita. Juga, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kelebihan kepada pria dalam hal kepemimpinan yang tidak dimiliki oleh kaum wanita. Di dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
4 وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
5 “Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (Al-Baqarah: 228)
6 Oleh karena itu, Islam memerintahkan untuk memberikan hak kepada masing-masing yang memiliki hak. Inilah yang disebut keadilan. Adil bukanlah persamaan hak dalam segala hal. Namun adil adalah menempatkan setiap manusia pada tempat yang selayaknya dan semestinya, serta menempatkan segala sesuatu pada posisinya yang telah diatur dalam syariat-Nya.
7 Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada keadilan dan bukan kepada persamaan antara sesama manusia dalam segala hal. Firman-Nya:
8 وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
9 “Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (An-Nisa`: 58)
10 Dan firman-Nya:
11 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
12 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)
13 وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
14 “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Ma`idah: 8)
15 Dan ayat-ayat yang berkenaan tentang masalah ini sangat banyak sekali. Sedangkan persamaan antara sesama manusia bukanlah ajaran Islam. Bahkan Islam senantiasa menyebutkan perbedaan antara satu dengan yang lainnya sesuai standar syariah dan kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
16 Allah Subhanahu wa Ta’ala membedakan antara yang muslim dan yang kafir, yang taat dan yang berbuat kemaksiatan, dalam firman-Nya:
17 لا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ
18 “Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 20)
19 Dan firman-Nya:
20 أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي اْلأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ
21 “Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (Shad: 28)
22 Allah Subhanahu wa Ta’ala juga membedakan antara orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu, dalam firman-Nya:
23 قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو اْلأَلْبَابُ
24 “Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9)
25 Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang adanya perbedaan kedudukan manusia dan tidak menyamakan antara mereka. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari Dzulkhuwaishirah yang menginginkan agar pembagian harta rampasan perang dilakukan secara merata serta menganggap bahwa hal tersebut termasuk keadilan.
26 Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,, beliau berkata: “Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang membagi harta berupa emas, maka datanglah Abdullah bin Dzulkhuwaishirah At-Tamimi lalu berkata: ‘Berbuat adil-lah engkau, wahai Rasulullah.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Celaka engkau, siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?’ Umar lalu berkata: ‘Izinkan saya untuk memenggal lehernya.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Biarkan dia, karena sesungguhnya dia memiliki pengikut, yang salah seorang kalian menganggap rendah shalatnya dibandingkan shalat mereka, puasanya dibandingkan puasa mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6534)
27 Dalam riwayat Muslim rahimahullah disebutkan bahwa tatkala ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu datang dari negeri Yaman membawa emas yang masih bercampur tanah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaginya untuk empat orang: ‘Uyainah bin Hisn, Al-Aqra’ bin Habis, Zaid Al-Khail, yang keempat ‘Alqamah bin Ulatsah atau ‘Amir bin Ath-Thufail. Lalu datanglah Dzulkhuwaishirah tersebut…. (HR. Muslim no.1064)
28 Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membagi rata harta yang beliau dapatkan tersebut. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kepada orang yang beliau pandang lebih mendatangkan kemaslahatan untuk diri orang tersebut. Di dalam hadits yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Sa’d, sesungguhnya aku memberikan (harta) kepada seseorang, padahal yang lain lebih aku cintai daripada orang yang kuberi tersebut, karena aku khawatir orang tersebut dilemparkan Allah ke dalam neraka.” (HR.Al-Bukhari no. 27, Muslim no. 150)
29 Demikian pula halnya antara kaum laki-laki dan perempuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan manusia untuk berbuat adil kepada mereka dengan memberikan hak kepada yang berhak menerimanya, sesuai ketentuan yang telah ditetapkan dalam syariat. Sebab, menyamakan antara pria dan wanita dalam segala sesuatu adalah suatu hal yang bertentangan dengan fitrah dan syariat. Bagaimana tidak, dari sisi penciptaan saja mereka sudah berbeda. Di antaranya:
30 Wanita memiliki fisik dan jenis kelamin yang berbeda dengan kaum lelaki
31 Wanita lebih lemah dibanding kaum lelaki
32 Wanita melahirkan, tidak demikian halnya kaum lelaki
33 Wanita mengalami masa haid, kaum lelaki tidak
34 Dan masih banyak lagi perbedaan di antara keduanya.
35 Maka dari itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha mengetahui kemaslahatan hamba-Nya, menempatkan mereka pada posisinya masing-masing. Di antara perbedaan antara keduanya dari sisi syariat adalah:
36 Wanita diperintahkan berhijab dengan menutupi seluruh tubuhnya, tidak demikian halnya kaum lelaki.
37 Wanita dianjurkan tinggal di rumahnya dan tidak keluar dengan ber-tabarruj (bersolek), tidak demikian halnya kaum lelaki.
38 Lelaki menjadi pemimpin rumah tangga dan melindungi para wanita yang lemah.
39 Lelaki mendapatkan warisan dua kali lipat dibanding wanita.
40 Dan perbedaan lainnya yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang lebih mengetahui kemaslahatan para hamba-Nya tersebut.
41 Lelaki adalah Pemimpin dalam Bernegara dan Berumah tangga
42 Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia ini menjelaskan bahwa seorang lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, dan seorang wanita adalah berada di bawah perlindungan dan pemeliharaan lelaki. Oleh karena itu, seorang wanita tidak boleh diberi tanggung jawab sebagai pemimpin yang membawahi kaum lelaki, karena hal tersebut bertentangan dengan keadaan penciptaan wanita itu sendiri yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Hal ini dapat mengantarkan kepada kerusakan dan kehancuran.
43 Di dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari rahimahullah dari hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Tatkala sampai berita kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa penduduk Persia mengangkat seorang anak wanita Kisra1 (gelar raja Persia) sebagai pemimpin yang memimpin mereka, maka beliau bersabda:
44 لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
45 “Tidak akan beruntung suatu kaum yang mereka menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Al-Maghazi, bab Kitabun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ila Kisra wa Qaishar, 7/4425 bersama Al-Fath)
46 Al-Hafizh rahimahullah setelah menyebutkan hadits ini berkata: “Al-Khaththabi berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa seorang wanita tidak boleh memegang kepemimpinan dan qadha` (menjadi hakim).” (Fathul Bari, 7/735)
47 Dan tidak ada perselisihan di kalangan para ulama tentang tidak diperbolehkannya kaum wanita menjadi pemimpin negara. (lihat penukilan kesepakatan tersebut dalam Adhwa`ul Bayan, Asy-Syinqithi rahimahullah, 1/75; Al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya menukil dari Al-Qadhi Abu Bakr Ibnul ‘Arabi rahimahullah, 13/183, Ahkamul Qur`an, Ibnul ‘Arabi, 3/482)
48 Demikian pula dalam hal berumah tangga. Seorang suami adalah pemimpin dan penanggung jawab atas rumah tangganya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
49 كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاس رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلىَ أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالْـمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلىَ مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
50 “Setiap kalian adalah pemelihara, maka dia bertanggung jawab atas apa yang dia pelihara. Seorang penguasa adalah pemelihara atas rakyatnya dan dia bertanggung jawab atas mereka. Seorang lelaki adalah pemelihara atas keluarganya dan dia bertanggung jawab atas mereka. Seorang wanita adalah pemelihara atas rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab atas mereka. Seorang budak adalah pemelihara atas harta tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah pemelihara dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipeliharanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
51 Akan tetapi, tatkala kaum lelaki memiliki kelebihan dari satu sisi, bukan berarti kedudukan wanita di dalam Islam tersebut menjadi rendah. Sebab, yang menjadi standar kemuliaan seseorang di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ketakwaan. Apabila seorang wanita senantiasa taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, taat kepada suami, memelihara kehormatan diri, menjaga harta suami di saat ia ditinggal, maka dia akan mendapatkan jaminan surga yang tidak didapatkan oleh kebanyakan kaum lelaki yang tidak memiliki ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
52 إِذَا صَلَّتِ الْـمَرْأَةُ خَـمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَـهَا: ادْخُلِي الْـجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْـجَنَّةِ شِئْتِ
53 “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, memelihara kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: ‘Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki’.” (HR. Ibnu Hibban dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Jami’ no. 660)
54 1 Wanita ini bernama Buuraan bintu Syairawaih bin Kisra, disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari menukil dari Ibnu Qutaibah. (Fathul Bari, 7/735)

bbblajarbareng.blogspot.com

Senin, 23 Mei 2011

Acidimetri dan Alkalimetri

ABSTRAK

Asidimetri adalah analisa titrimetri yang menggunakan asam kuat sebagai titrannya dan sebagai analitnya adalah basa atau senyawa yang bersifat basa. Sedangkan alkalimetri pada prinsipnya adalah analisa titrimetri yang menggunakan basa kuat sebagai titrannya dan analitnya adalah asam atau senyawa yang bersifat asam. Percobaan ini bertujuan untuk membuat larutan standar HCl 0,1 N dan menetapkan konsentrasi larutan tersebut dengan cara standarisasi dengan larutan borax dan natrium karbonat anhidrous, membuat larutan standar primer asam oksalat dan menentukan kadar asam cuka yang diperdagangkan.
Dalam percobaan ini larutan dibuat dengan cara pengenceran kemudian dilakukan titrasi dengan larutan-larutan standar tertentu sehingga didapatkan harga konsentrasi dari larutan hasil pengenceran tersebut. Selain itu dalam percobaan ini digunakan metode titrimetri untuk menganalisa kadar suatu sampel dengan proses asidimetri maupun alkalimetri.
Dari hasil percobaan didapatkan larutan hasil standarisasi HCl adalah 0,0662 N dan 0,867 N dan larutan hasil standarisasi NaOH adalah 0,0113 N, Sedangkan kadar asam cuka yang diteliti adalah 0,24 %, serta kadar NH3 yang terkandung dalam 0,2 gram NH4Cl adalah sebesar 10,75 %.

Kata Kunci : asidimetri, alkalimetri, larutan standar.

PERCOBAAN 1
ASIDIMETRI DAN ALKALIMETRI


1.1 PENDAHULUAN

1.1.1 Tujuan Percobaan
Tujuan percobaan ini adalah :
1. Membuat larutan standar HCl 0,1 N serta menetapkan konsentrasi larutan standar HCl dengan cara standarisasi dengan larutan borax (Na2B4O7.10H2O) dan Na2CO3 anhidrous.
2. Membuat larutan standar NaOH dan standarisasi dengan asam oksalat.
3. Menentukan kadar asam dalam asam cuka yang diperdagangkan serta menentukan kadar NH3 dalam garam ammonium (NH4Cl).

1.1.2 Latar Belakang
Pada prinsipnya asidimetri adalah analisa titrimetri yang menggunakan asam kuat sebagai titrannya dan sebagai analitnya adalah basa atau senyawa yang bersifat basa, ataupun pengukuran dengan asam (yang diukur jumlah basa atau garamnya). Sedangkan alkalimetri pada prinsipnya adalah analisa titimetri yang menggunakan basa kuat sebagai titrannya dan analitnya adalah asam atau senyawa yang bersifat asam.
Larutan yang biasa dipakai sebagai titran dalam alkalimetri adalah NaOH, KOH, dan Ba(OH)2 yang merupakan larutan baku standar sekunder. Larutan yang biasa digunakan dalam analisa ini adalah NaOH karena harganya relatif murah.
Indikator yang sering digunakan dalam percobaan asidimetri dan alkalimetri adalah indikator metil merah dan metil orange untuk asidimetri karena skala pH pada kedua indikator memang berkisar pada larutan yang bersifat asam dan indikator PP untuk alkalimetri karena skala pH pada indikator PP berkisar pada larutan yang bersifat basa.

1.2 DASAR TEORI

Dalam analisis larutan asam dan basa, titrasi akan melibatkan pengukuran yang seksama volume-volumenya suatu asam dan suatu basa yang tepat akan saling menetra1kan. Reaksi penetralan atau asidimetri dan alkalimetri adalah salah satu dari empat golongan utama dalam penggolongan reaksi dalam analisis titrimetri. Asidi alkalimetri ini melibatkan titrasi basa bebas atau basa yang terbentuk karena hidrolisis garam yang berasal dari asam lemah, dengan suatu standar (asidimetri) dan titrasi asam bebas yang terbentuk dari hidrolisis garam yang berasal dari basa lemah, dengan suatu basa standar (alkali metri). Reaksi-reaksi ini melibatkan senyawa ion hidrogen dan ion hidroksida untuk membentuk air (Bassett, 1994).
Analisis volumetri juga dikenal sebagai titrimetri, di mana zat dibiarkan bereaksi dengan zat yang lain yang konsentrasinya diketahui dan dialirkan dari buret dalam bentuk larutan. Konsentrasi larutan yang tidak diketahui (analit) kemudian dihitung. Syaratnya adalah reaksi harus berlangsung secara cepat, reaksi berlangsung kuantitatif dan tidak ada reaksi samping (Khopkar, 1990).
Dalam menguji suatu reaksi untuk menetapkan apakah reaksi itu dapat digunakan untuk suatu titrasi, pembuatan suatu kurva titrasi akan membantu pemahaman untuk titrasi asam basa suatu kurva titrasi terdiri dari suatu alur pH atau pOH versus ml titran. Kurva semacam itu membantu dalam mempertimbangkan kelayakan suatu titrasi dan dalam memilih indikator yang tepat (Underwood, 1999).
Zat-zat anorganik dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan penting : asam, basa dan garam. Asam didefinisikan sebagai zat yang bila dilarutkan dalam air, mengalami disosiasi dengan pembentukan ion hidrogen sebagai satu-satunya ion positif. Asam kuat berdisosiasi hampir sempurna dengan pengenceran yang sedang, karena itu ia merupakan elektrolit kuat. Asam lemah berdisosiasi hanya sedikit pada konsentrasi sedang bahkan pada konsentrasi rendah (Svehla, 1990).
Kuat relatif asam dan basa dalam larutan bergantung pada afinitas mereka terhadap proton yang berlainan. Makin kuat asam, makin lemah basa konjugatnya. Dari kumpulan reaksi kimia yang dikenal relatif sedikit yang dapat digunakan sebagai dasar untuk titrasi, suatu reaksi memenuhi persyaratan berikut sebelum digunakan.
1. Reaksi harus berjalan sesuai dengan suatu persamaan reaksi tertentu. Tidak boleh ada reaksi samping.
2. Reaksi harus berjalan sampai boleh dikatakan lengkap pada titik ekivalensi. Dengan kata lain, tetapan keseimbangan reaksi harus sangat besar.
3. Beberapa metode harus tersedia untuk menetapkan kapan titik ekivalensi tercapai. Suatu inidikator haruslah tersedia atau beberapa metode secara instrumen dapat digunakan untuk memberitahu analisis kapan penambahan titran dihentikan.
4. Reaksi berjalan cepat (dalam beberapa menit saja)
(Day dan Underwood, 1999).
Untuk indikator asam-basa biasanya dibuat dalam bentuk larutan Indikator asam basa adalah zat yang berubah warnanya atau membentuk fluoresen atau kekeruhan pada suatu range (trayek) pH tertentu. Indikator asam basa terletak pada titik ekivalen dan ukuran dari pH. Zat-zat indikator dapat berupa asam atau basa, larut dan stabil serta akan menunjukkan perubahan warna yang kuat, biasanya merupakan zat organik (Khopkar, 1990).
Air murni tidak mempunyai rasa, bau, dan warna. Bila mengandung zat tertentu, air dapat tersa asam, pahit, asin, dan sebagainya. Air yang mengandung zat lain dapat pula menjadi warna. Cairan yang berasa asam disebut larutan asam, yang terasa asin disebut larutan garam, sedangkan yang terasa licin dan pahit disebut larutan basa (Syukri, 1999).
Zat-zat anorganik dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan penting : asam, basa, dan garam. Asam secara paling sederhana didefinisikan sebagai zat, yang bila dilarutkan dalam air, mengalami disosiasi dengan pembentukan ion hidrogen sebagai satu-satunya ion positif. Basa, secara paling sederhana dapat didefinisikan sebagai zat, yang bila dilarutkan dalam iar, mengalami disosiasi dengan pembentukan ion-ion hidroksil sebagai satu-satunya ion negatif (Svehla, 1979).
Air mengandung ion dalam jumlah kecil sekali. Hal itu disebabkan oleh terjadinya rekasi asam basa sesama molekul air (autoionisasi) dan membentuk kesetimbangan :
H2O + H2O H3O+ + OH-
Dengan kata lain, air adalah elektrolit lemah dan bila H3O+ disederhanakan menjadi H+, maka kesetimbangan itu ditulis sebagai :
H2O H+ + OH-
Jika larutan mengandung asam, berarti menambahkan jumlah H+, dan akan menggeser kesetimbangan ke kiri sampai tercapai kesetimbangan baru. Pada kesetimbangan baru, konsentrasi H+ lebih besar dari pada OH-, tetapi perkaliannya tetap 10-14. Hal yang sama akan terjadi bila air ditambah bas sehingga dicapai kesetimbangan baru dengan nilai [OH-] > [H+] dan perkaliannya tetap 10-14.
Berdasarkan konsentrasi ion tersebut, larutan dibagi tiga, yaitu :
Larutan asam : [H+] > [OH-]
Larutan netral : [H+] = [OH-] = 10-7
Larutan basa : [H+] < [OH-]
(Syukri, 1999).
Analisis titrimetrik adalah salah satu divisi besar dalam kimia analitik. Perhitungan yang tercakup di dalamnya berdasarkan pada hubungan stokiometrik dari reaksi kimia yang sederhana.
Analisis dengan metode titrimetrik didasarkan pada rekasi kimia seperti :
aA + tT produk
Di mana a molekul analit, A, bereaksi dengan t molekul pereaksi, T. Pereaksi T, yang disebut titran, ditambahkan secara kontinu, biasanya dari sebuah buret, dalam wujud larutan yang konsentrasinya diketahui. Larutan ini disebut larutan standar, dan konsentrasinya ditentukan dengan sebuah proses yang dinamakan standarisasi. Penambahan dari titran tetap dilakukan sampai jumlah T secara kimiawi sama dengan yang telah ditambahkan kepada A. selanjutnya akan dikatakan titik ekivalen dari titrasi telah dicapai. Agar diketahui kapan harus berhenti menambahkan titran, maka dapat menggunakan bahan kimia, yaitu indikator, yang bereaksi terhadap kehadiran titran yang berlebih dengan melakukan perubahan warna. Perubahan warna ini bisa saja terjadi persis pada titik ekivalen , tetapi bisa juga tidak. Titik dalam titrasi dimana indikator berubah warnanya disebut titik akhir ( Day dan Underwood).
Indikator adalah zat warna larut yang perubahan warnanya tampak jelas dalam rentang pH yang sempit. Jenis indikator yang khas adalah asam organik yang lemah yang mempunyai warna berbeda dari basa konjugatnya. Indikator yang baik mempunyai intensitas warna yang sedemikian rupa sehingga hanya beberapa tetes larutan indikator encer yang harus ditambahkan ke dalam larutan yang sedang diuji. Konsentrasi molekul indikator yang sangat rendah ini hampir tidak berpengaruh terhadap pH larutan. Perubahan warna indikator mencerminkan pengaruh asam dan basa lainnya yang terdapat dalam larutan (Oxtoby, 2001).
Reaksi kimia yang mungkin di perlakukan sebagai basis dari penentuan titrimetrik telah dikelompokan ke dalam empat tipe :
a. Asam-Basa. Ada sejumlah besar asam dan basa yang dapat ditentukan oleh titrimetri. Jika HA mewakili asam yang akan ditentukan dan B mewakili basa, rekasinya adalah sebagai berikut
HA + OH- A- + H2O
dan
B + H3O+ BH+ + H2O
b. Oksidasi-reduksi (redoks). Reaksi kimia yang melibatkan oksidasi-redoksi dipergunakan secara luas dalam analitis titrimetrik. Sebagai contoh, besi dengan tingkat oksidasi +2 dapat dititrasi dengan sebuah larutan standar dari serium (IV) sulfat :
Fe2+ + Ce 4+ Fe3+ + Ce3+
c. Pengendapan. Pengendapan dari kation perak dengan anion halogen dipergunakan secara luas dalam prosedur titremetrik. Reaksinya adalah sebagai berikut
Ag+ + X- AgX (s)
d. Pembentukan kompleks. Contoh dari reaksi di mana terbentuk suatu kompleks antara ion perak dan sianida :
Ag+ + 2 CN- Ag (CN)-2
(Oxtoby, 2001).
Sejauh ini, realtif sedikit reaksi kimia yang dapat dipergunakan sebagai basis untuk titrasi. Sebuah reaksi harus memenuhi beberapa persyaratan sebelum reaksi tersebut dapat dipergunakan :
a. Reaksi tersebut harus diproses sesuai persamaan kimiwai tertentu. Seharusnya tidak ada sampingan.
b. Reaksi tersebut harus diproses sampai benar-benar selesai pada titik ekivalensi.
c. Harus tersedia beberapa metode untuk menentukan kapan titik ekivalen tercapai.
d. Diharapkan reaksi berjalan cepat, sehingga titrasi dapat diselesaikan dalam beberapa menit (Day dan Underwood, 1999).





1.3 METODOLOGI PERCOBAAN
1.3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah bekker gelas, Erlenmeyer, gelas ukur, labu ukur, pipet tetes, corong, buret, gelas arloji, batang pengaduk, pipet volume dan propipet, sudip, neraca analitik, pemanas.

Rangkaian Alat :

Keterangan :
1.buret
2. statif dan klef
3. erlenmeyer









Gambar 1.1 Alat titrasi


1.3.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah HCl pekat, akuades, borax, Na2CO3, asam oksalat (H2C2O4.2H2O), ammonium klorida (NH4Cl), asam cuka, indikator PP, indikator metil merah, indikator metal orange, NaOH Kristal





1.3.3 Prosedur Percobaan
1.3.3.1 Standarisasi dengan Borax
1. Menimbang dengan tepat 0,2 gram borax, memasukkan ke dalam Erlenmeyer dan melarutkan dengan aquades sebanyak 25 mL lalu mengocok hingga larut.
2. Menambahkan indikator metil merah sebanyak 3 tetes. Menitrasi dengan larutan HCl dari percobaan sebelumnya sehingga warna berubah dari kuning menjadi merah muda. Mencatat volume titrannya.
3. Melakukan percobaan di atas sebanyak dua kali.

1.3.3.2 Standarisasi dengan Na2CO3 anhidrous
1. Menimbang 0,2 gram Na2CO3. Melarutkan dalam aquades sebanyak 60 mL dalam erlenmeyer dan kocok dengan baik.
2. Menambahkan indikator metal orange sebanyak 3 tetes. Menitrasi dengan larutan HCl sampai warna berubah dari warma orange menjadi merah muda. Mencatat volume titrannya.
3. Melakukan percobaan di atas sebanyak dua kali.

1.3.3.2 Standarisasi NaOH dengan Asam Oksalat
1. Menimbang 0,63 gram asam oksalat dengan gelas arloji. Memasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL. larutkan dalam air sampai volume 100 mL.
2. Mengambil sebanyak 10 mL dan menambahkan indikator PP sebanyak 3 tetes.
3. Menitrasi dengan larutan NaOH sampai warna larutan menjadi merah muda dan mencatat volume titrannya.
4. Melakukan percobaan sebanyak dua kali.

1.3.3.3 Menentukan Kadar NH3 dalam Amonium Klorida
1. Menimbang 0,2 gram NH4Cl dan memasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL. Menambahkan 75 mL larutan NaOH yang telah distandarisasikan.
2. Mengocok dengan baik dan panaskan sampai uapnya keluar tidak merubah warna kertas lakmus yang telah dibasahi dengan aquades.
3. Menambahkan 3 tetes indikator metil merah dan menitrasi dengan larutan standar HCl sampai titik ekivalen.
4. Melakukan percoaan sebanyak dua kali.

1.3.3.4 Penentuan Kadar Asam dalam Asam Cuka yang Diperdagangkan
1. Menimbang labu ukur, setelah itu masukkan 5 mL asam cuka, menimbang lagi contoh, kemudian menghitung berat asam cukanya.
2. Memipet 10 mL asam cuka ke dalam erlenmeyer dan menambahkan 3 tetes indikator PP.
3. Menitrasi dengan larutan NaOH standar sampai berwarna merah muda. Mencatat volume titrannya.
4. Melakukan percobaan sebanyak dua kali.



1.4 HASIL DAN PEMBAHASAN
1.4.1 Hasil
1.4.1.1 Asidimetri
1.4.1.1.1 Standarisasi dengan Borax





Tabel 1.4.1 Standarisasi dengan Borax
No. Langkah Percobaan Hasil Pengamatan
1. Menimbang 0,2 gram Borax, melarutkan dengan akuades sebanyak 25 ml Campuran homogen Warna bening
2. Menambahkan 3 tetes methyl red Warna kuning
3. Menitrasi dengan HCl V0 = 0 ml
V1=13,1 ml,
V = 13.1 ml
warna pink

1.4.1.1.2 Standarisasi dengan Na2CO3 anhidrous
Tabel 1.4.2 Standarisasi dengan Na2CO3 anhidrous
No. Langkah Percobaan Hasil Pengamatan
1. Menimbang 0,2 gram Borax, melarutkan dengan akuades sebanyak 25 ml Warna bening
2. Menambahkan 3 tetes methyl orange Warna kuning
3. Menitrasi dengan HCl V0 = 0
V1 = 59,4 ml
V = 59,4 ml

1.4.1.2 Alkalimetri
1.4.1.2.1 Membuat Larutan Standar NaOH
Tabel 1.4.3 Membuat Larutan Standar NaOH
No. Langkah Percobaan Hasil Pengamatan
1. Menimbang 1 gr NaOH, melarutkan dengan akuades V = 250 ml

1.4.1.2.2 Standarisasi NaOH dengan Asam Oksalat
Tabel 1.4.4 Standarisasi NaOH dengan Asam Oksalat
No. Langkah Percobaan Hasil Pengamatan
1. Menimbang asam oksalat 0,6 gram
2. Memasukkan dalam erlenmeyer dan menambahkan air V = 100 ml
3. Mengambil sebanyak 10 ml larutan oksalat warna bening
4. Menambahkan 3 tetes PP warna bening
5. Menitrasi dengan NaOH V1 = 0 ml, V2 = 10 ml
V = 10 ml
warna pink




1.4.1.2.3 Menentukan kadar NH3 dalam NH4Cl

Tabel 1.4.5 Menentukan kadar NH3 dalam NH4Cl
No. Langkah Percobaan Hasil Pengamatan
1. Menimbang NH4Cl, memasukkan ke erlenmeyer, menambahkan larutan NaOH sebanyak 75 ml massa 0,2 gram

2. Mengocok dan memanaskan warna bening
3. Menambahkan 3 tetes methyl-red warna kuning
4. Menitrasi dengan HCl V1 = 0 ml, V2=59,4 ml
V = 59,4 ml
warna merah muda



1.4.1.2.3 Menentukan kadar asam dalam asam cuka yang diperdagangkan
Tabel 1.4.6 Menentukan kadar asam dalam asam cuka yang diperdagangkan
No. Langkah Percobaan Hasil Pengamatan
1. Menimbang botol kosong 195.9 gram
2. Menimbang 5 ml asam cuka + botol kosong tersebut
Berat asam cuka =
200,4-195,9 = 4,5 gram
3. Memasukkan asam cuka ke dalam labu ukur 250 ml dan menambahkan akuades
sampai tanda batas V = 250 ml
3. Memipet 10 ml asam cuka ke dalam erlenmeyer dan menambahkan 3 tetes Indikator PP

warna bening
4. Menitrasi dengan NaOH standar V1 = 0 ml, V1=1,7 ml
V = 1,7 ml

1.4.2 Pembahasan
1.4.2.1 Asidimetri
1.4.2.1.1 Standarisasi dengan Borax
Pertama adalah membuat larutan borax, massa borax untuk membuat larutan standar yaitu 0,2 gram. BM borax = 384,4 gram/mol dan volume pengenceran sebanyak 25ml. Dari beberapa variabel diatas dapat dilihat reaksi pelarut borax yaitu :
Na2B4O7 + 2H2O H2B4O7 + 2 NaOH
Setelah itu ditambahkan indicator metal merah sebanyak 3 tetes sehingga terjadi perubahan warna pada borax menjadi kuning. Hal ini dikarenakan indicator metil merah yang memiliki trayek PH 4,2-6,3 berwarna kuning jika dalam larutan basa. Kemudian larutan ini dititrasi dengan HCl 0,1 N. Titrasi ini dilakukan hingga warna kuning berubah menjadi pink. Perubahan warna ini terjadi karena adanya ion H+ dari HCl dan perubahan ini menandai titik akhir titrasi. Larutan HCl dibakukan dengan Na2B4O7.10H2O titrasi dimaksudkan untuk menghilangkan gas Co2 yang terbentuk sehingga dapat membuat indicator merubah warna larutan tersebut
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
Na2B4O7.10H2O + 2HCl 4H3BO3 + 2NaCl + 5H2O
atau Na2B4O7.5H2O + 2HCl 2NaCl + 4H3BO4
Dari data yang diperoleh dapat dihitung Normalitas dari larutan HCl yaitu 0,077 N.

1.4.2.1.2 Standarisasi dengan Na2CO3 anhidrous
Standarisasi larutan HCl dilakukan dengan melarutkan 0,2 gram Na2CO3 dan melakukan pengenceran hingga volume 60 ml. Kemudian ditambahkan dengan 3 tetes indikator methyl-orange, lalu dititrasi dengan larutan HCl. Larutan Na2CO3 bertindak sebagai larutan bakunya karena kepekatannya telah diketahui dalam molaritas.
Reaksi antara Na2CO3 dan HCl yang terjadi adalah :
2Na+ CO3++2HCl+Cl- H2CO3+2NaCl
Secara singkat dituliskan :
Na2CO3 + 2NaCl CO2 + H2O
Dari pengulangan percobaan di dapat volume titrasi sebesar 59,4 ml dan konsentrasi Na2CO3 sebesar 0,0628 N dan V titran sebesar 0,0594, V titrannya besar karena PH pada titik akhir titrasi lebih besar daripada trayek PH indikator metil merah. PH pada titik akhir titrasi pertama yaitu 8,3 karena terbentuk garam NaHCO3 yang sedikit basa dan trayek PH indikator metil merah 4,4-6,2 sehingga parlu HCl yang banyak untuk mencapai trayek PH tersebut

1.4.2.2 Alkalimetri
1.4.2.2 1 Pembuatan larutan standar NaOH
Pada percobaan ini larutan standar NaOH diperoleh dari melarutkan 1 gram NaOH dengan akuades sampai 250 ml. larutan di panaskan agar NaOH yang sebelumnya padatan dapat hancur dan larut bersama akuades. Larutan standar NaOH digunakan untuk perhitungan selanjutnya, dan untuk menitrasi.
Reaksi pelarutan NaOH adalah sebagai berikut :
NaOH + H2O Na+ + OH- + H2O
Berdasarkan perhitungan diperoleh konsentrasi NaOH sebesar 0,1 N.

1.4.2.2.2 Standarisasi NaOH dengan asam oksalat
Pada saat larutan asam oksalat dititrasi dengan larutan standar NaOH yang telah dibuat sebelumnya terjadi rekasi sebagai berikut :
C2H2O4 . 2H2O + NaOH NaCHO4 + CO2 + H2O
Titrasi dihentikan setelah larutan yang mula-mula berwarna bening berubah warna menjadi pink. Perubahan warna terjadi menunjukkan bahwa titik ekivalen telah tercapai, setelah melakukan titrasi dengan NaOH diperoleh normalitas asam oksalat adalah 0,1332 N dan NaOH sebesar 0,1 N. V titrannya besar karena asam oksalat membutuhkan ion OH- yang lebih banyak untuk mencapai titik ekivalen sehingga volume titran yang dipergunakanpun lebih banyak.

1.4.2.2.3 Penentuan kadar NH3 dalam Amonium Klorida
Untuk mengetahui seberapa besar kandungan NH3 dalam NH4Cl, terlebih dahulu dilakukan penimbangan sebanyak 0,2 gram NH4Cl dimasukkan dalam erlenmeyer lalu ditambahkan 75 ml larutan NaOH yang telah dibuat kemudian dikocok dan dipanaskan. Setelah dipanaskan ditetesi methyl red baru dititrasi dengan HCl
Pada saat penambahan NaOH ke dalam larutan NH4Cl, terjadi reaksi sebagai berikut :
NH4Cl + NaOH NH3 + NaCl + H2O
Reaksi titrasinya sebagai berikut :
HCl + NaOH NaCl + H2O
Dari hasil perhitungan didapatkan kadar NH3 dalam NH4Cl sebesar 50,45 % , V titrasi besar sama seperti diatas PH pada titik akhir. Titrasi lebih sedikit basa, karena ada ammonia yang bersifat basa lemah , dan trayek PH indicator metil merah sebesar 4,4-6,2 sehingga perlu lebih banyak HCl.


1.4.2.2.4 Penentuan kadar asam dalam asam cuka yang diperdagangkan
Pada percobaan ini, praktikan menggunakan asam cuka cap Bata sebagai sampel. Mula-mula asam cuka diambil se banyak 5 ml, kemudian ditentukan beratnya dan diencerkan. Setelah itu ditambahkan Indikator PP untuk menunjukkan titik akhir pada saat asam cuka dititrasi dengan larutan baku NaOH.
Reaksi yang terjadi pada saat titrasi berlangsung sebagai berikut :
NaOH + CH3COOH CH3COONa + H2O
Asam asetat (CH3COOH) termasuk salah satu contoh protolit lemah, yaitu molekul atau ion yang dapat ikut serta dengan proton yang keseimbangan asam basanya ditentukan oleh tetapan protolisisnya. Asam cuka atau sering dikenal asam asetat yang sering digunakan harus diencerkan terlebih dahulu dengan air karena jika tidak bisa berbahaya bagi pemakai.
Perhitungan kadar asam cuka dilakukan untuk membandingkan kadar asam yang tertera di label dengan percobaan yang dilakukan. Dalam sampel 5 ml cuka terkandung 0,0816 gram CH3COOH dengan kadarnya sekitar 1,8133%.







1.5 PENUTUP

1.5.1 Kesimpulan
1. Untuk menstandarisasikan larutan Borax 0,0418 N sebanyak 25 ml diperlukan 0,0134 ml atau 13,4 ml larutan HCl dengan konsentrasi normalitas sebesar 0,0779 N
2. Larutan standar HCl 0,1 N sebanyak 59,4 ml digunakan untuk standarisasi larutan Na2CO3 dengan konsentrasi normalitas 0,0634 N
3. Untuk membuat 1 gram NaOH dengan konsentrasi normalitas sebesar 0,1 N
4. Dalam menstandarisasikan larutan oksalat 0,1332 N sebanyak 100 ml diperlukan larutan baku NaOH 1 N sebanyak 10 ml
5. Kadar NH3 yang terkandung dalam 0,2 gram NH4Cl adalah sebesar 50,45 %
6. Kadar asam yang terkandung dalam 5 ml asam cuka cap Botol adalah sebesar 1,8133%.

1.5.2 Saran
1. Sebaiknya alat-alat yang digunakan pada percobaan mencukupi dan sesuai dengan percobaan tersebut, sehingga praktikan tidak mendapatkan masalah karena kekurangan alat.
2. Asisten laboratorium seharusnya lebih memperhatikan pekerjaan praktikan sehingga tidak terjadi kesalahan prosedur.
bbblajarbareng.blogspot.com